Hai Aneuk Nanggroe

Wellcome To My Blog

myspace codes



Menu Hari Ini :

Mesin pencari password
Hacking SQL Server
Aplikasi J2ME

Blog Aneuk Nangroe







Nanggroe Aceh Darussalam

Nanggröe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat provinsi yang terletak di Pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Daftar isi[sembunyikan]
1 Sejarah
1.1 Sultan Aceh
1.2 Gelar-Gelar yang Digunakan dalam Kerajaan Aceh
1.3 Segala Hal Tentang Kerajaan Aceh
1.4 Perang Aceh
1.5 Bangkitnya nasionalisme
1.6 Masa Republik Indonesia
1.7 Darul Islam / Tentara Islam Indonesia
1.8 Gerakan Aceh Merdeka
1.9 Penerapan Darurat Militer
1.10 Penerapan Darurat Sipil
2 Sosial kemasyarakatan
2.1 Suku bangsa
2.2 Bahasa
2.3 Agama
2.4 Pendidikan
3 Pemerintahan
3.1 Kabupaten dan Kota
3.2 Gampông
3.3 Mukim
3.4 Nanggroë
3.5 Sagoë
3.6 Kaway
4 Kondisi dan sumber daya alam
4.1 Kondisi alam
4.2 Keanekaragaman hayati
4.3 Sumber daya alam
5 Perekonomian
5.1 Tenaga Kerja
5.2 Ekspor & Impor
5.3 Pertanian & perkebunan
5.4 Perikanan
5.4.1 Pra-tsunami 2004
5.4.2 Pasca-tsunami 2004
5.5 Industri
5.6 Pertambangan
5.7 Pariwisata
6 Seni dan Budaya
6.1 Sastra
6.2 Senjata tradisional
6.3 Rumah Tradisional
6.4 Tarian
6.5 Sastra
7 Makanan Khas
8 Pahlawan
9 Tokoh asal Aceh
10 Lihat pula
11 Pranala luar
//

[sunting] Sejarah
Artikel utama: Sejarah Aceh
Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

[sunting] Sultan Aceh
1496-1528 Sultan Ali Mughayat Syah. Ayahanda daripada:
1528-1537 Sultan Salahuddin. Kakanda daripada :
1537-1568 Sultan Alauddin al Qahhar. Ayahanda daripada:
1568-1575 Sultan Husain Ali Riayat Syah. Ayahanda daripada:
1575 Sultan Muda
1575-1576 Sultan Sri Alam. ananda daripada Alauddin al Qahhar
1576-1577 Sultan Zainal Abidin 1576-1577. Cucu daripada Alauddin al Qahhar
1577-1589 Sultan Alauddin Mansur Syah Ibni Almarhum Sultan Mansur Syah I (Sultan Perak 1549-1577). Kakanda Sultan Ahmad Tajuddin Syah, Sultan Perak
1589-1596 Sultan Buyong
1596-1604 Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil. Grandson (via son) of a brother of the father of 1st Sultan Ali Mughayat Syah dan Ayahanda daripada:
1604-1607 Sultan Ali Riayat Syah
1590-27 Desember 1636 Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Cucu (dari anak perempuan) Sultan Alauddin Riayat Syah
1636-1641 Iskandar Thani Alauddin Mughayat Syah. Anak Sultan Pahang, Ahmad Syah II
1641-1675 Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam. Putri Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam dan janda Sultan Iskandar Thani Alauddin Mughayat Syah
1675-1678 Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam
1678-1688 Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah
1688-1699 Sri Ratu Kamalat Syah Zinatuddin
1699-1702 Sultan Badrul Alam Syarif Hashim Jamaluddin
1702-1703 Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui
1703-1726 Sultan Jamal ul Alam Badrul Munir
1726 Sultan Jauhar ul Alam Aminuddin
1726-1727 Sultan Syamsul Alam
1727-1735 Sultan Alauddin Ahmad Syah
1735-1760 Sultan Alauddin Johan Syah
1750-1781 Sultan Mahmud Syah
1764-1785 Sultan Badruddin
1775-1781 Sultan Sulaiman Syah
1781-1795 Alauddin Muhammad Daud Syah
1795-1815 dan 1818-1824 Sultan Alauddin Jauhar ul Alam
1815-1818 Sultan Syarif Saif ul Alam
1824-1838 Sultan Muhammad Syah
1838-1857 Sultan Sulaiman Syah
1857-1870 Sultan Mansur Syah
1870-1874 Sultan Mahmud Syah
1874-1903 Sultan Muhammad Daud Syah

[sunting] Gelar-Gelar yang Digunakan dalam Kerajaan Aceh
Teungku
Tuanku
Pocut
Teuku
Laksamana
Uleebalang
Cut
Panglima Sagoe

[sunting] Segala Hal Tentang Kerajaan Aceh
Dalam
Istana Darut Donya
Cap Sikureung (cap sembilan)
Meuligoe
Gajah Putih
Pasukan Gajah

[sunting] Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendricus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Tapi sebenarnya wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Karena pada hakikatnya masyarakat Aceh tidak pernah mau dijajah oleh bangsa lain. Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang (Nippon)
Salah satu catatan penting pada Perang Aceh adalah tewasnya empat jenderal Belanda, yaitu Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin. Tewasnya empat jenderal Belanda merupakan peristiwa satu-satunya yang pernah dialami Belanda dalam sejarah perjalanan kerajaan tersebut dalam menyerang wilayah lainnya.

[sunting] Bangkitnya nasionalisme
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan).
Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai di tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.
Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personil tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe.

[sunting] Masa Republik Indonesia
Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia melalui upaya militer. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun.
Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
Di samping itu, telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari NAD dan membentuk provinis-provinsi baru.

[sunting] Darul Islam / Tentara Islam Indonesia

[sunting] Gerakan Aceh Merdeka
Aceh hingga kini masih didera konflik berkepanjangan yang disebabkan keinginan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin Hasan Tiro ingin memisahkan Aceh dari Indonesia karena ketidakadilan dan kezaliman Pemerintah Pusat dan TNI/Polri terhadap rakyat Aceh.

[sunting] Penerapan Darurat Militer

[sunting] Penerapan Darurat Sipil

[sunting] Sosial kemasyarakatan

Peta Aceh

[sunting] Suku bangsa
Provinsi NAD terdiri dari 10 suku asli, yaitu Suku Aceh, Suku Gayo, Suku Alas, Suku Aneuk Jamee, Suku Melayu Tamiang, Suku Kluet, Suku Devayan, Suku Sigulai, Suku Haloban dan Suku Julu. Suku Aceh tersebar terutama di Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan.
Di samping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, bangsa Arab dan India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran Agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka Al Aydrus, Al Habsyi, Al Attas, Al Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain lain, yang semuanya merupakan marga marga bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya.
Sedangkan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil. Dapat dibuktikan dengan penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan (kari), dan juga warisan kebudayaan Hindu tua (nama nama desa yang diambil dari bahasa India, contoh: Indra Puri). Keturunan India dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan maka keturunan India cukup dominan di Aceh.
Pedagang pedagang Tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana asal Tiongkok Cheng Ho, yang pernah singgah dan menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama Lonceng Cakra Donya, tersimpan di Banda Aceh. Semenjak saat itu hubungan dagang antara Aceh dan Tiongkok cukup mesra, dan pelaut pelaut Tiongkok pun menjadikan Aceh sebagai pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa.
Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran / Afghan) dan Turki, mereka pernah datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama kota Banda Aceh pun adalah warisan bangsa Persia (Banda / Bandar arti: Pelabuhan).
Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah Kuala Daya - Lamno (pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan Nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia), dan sempat singgah dan berdagang di wilayah Lamno, dan sebagian besar di antara mereka tetap tinggal dan menetap di Lamno. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lamno di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lamno, pimpinan Raja Mereuhoem Daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental. Pada saat ini umumnya mereka semua sudah memeluk agama Islam.
Sejarah pun mencatat bahwa tokoh-tokoh besar kelas dunia seperti, Marco Polo, Ibnu Battuta, serta Kubilai Khan, pernah singgah di tanah Aceh.

[sunting] Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Aceh, Bahasa Indonesia.
Meskipun banyak yang menggunakan bahasa Aceh dalam pergaulan sehari-hari, namun tidak berarti bahwa corak dan ragam bahasa Aceh yang digunakan sama. Tidak saja dari segi dialek yang mungkin berlaku bagi bahasa di daerah lain; bahasa Aceh bisa berbeda dalam pemakaiannya, bahkan untuk kata-kata yang bermakna sama. Kemungkinan besar hal ini disebabkan banyaknya percampuran bahasa, terutama di daerah pesisir, dengan bahasa daerah lainnya atau juga karena kelestarian bahasa aslinya.
Bahasa lain yang digunakan di Acah adalah Bahasa Gayo yang dituturkan di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Serbajadi, Aceh Timur. Bahasa Simeulue dan beberapa bahasa lainnya di kabupaten Simeulue, Melayu Tamiang, Alas, Aneuk Jamee yang merupakan dialek Bahasa Minangkabau dan Bahasa Kluet.

[sunting] Agama
Mayoritas penduduk di provinsi NAD memeluk agama Islam. Selain itu provinsi NAD memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam.

[sunting] Pendidikan
Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak menunjukkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang berkepanjangan, dengan sekian ribu sekolah dan institusi pendidikan lainnya menjadi korban. Pada UAN (Ujian Akhir Nasional) 2005 ada ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang.
Aceh juga memiliki sejumlah Perguruan Tinggi Negeri seperti
Universitas Syiah Kuala
IAIN Ar-Raniry
Universitas Malikussaleh
Politeknik Negeri Lhokseumawe

[sunting] Pemerintahan

[sunting] Kabupaten dan Kota

Wilayah administratif Dati II di Nanggroe Aceh Darussalam
Sejak tahun 1999, Nanggroe Aceh Darussalam telah mengalami beberapa pemekaran wilayah hingga sekarang mencapai 5 pemerintahan kota dan 18 kabupaten sebagai berikut:
Kabupaten Aceh Barat
Kabupaten Aceh Barat Daya
Kabupaten Aceh Besar
Kabupaten Aceh Jaya
Kabupaten Aceh Selatan
Kabupaten Aceh Singkil
Kabupaten Aceh Tamiang
Kabupaten Aceh Tengah
Kabupaten Aceh Tenggara
Kabupaten Aceh Timur
Kabupaten Aceh Utara
Kabupaten Bener Meriah
Kabupaten Bireuen
Kabupaten Gayo Lues
Kabupaten Nagan Raya
Kabupaten Pidie
Kabupaten Pidie Jaya (UU belum disahkan)
Kabupaten Simeulue
Kota Banda Aceh
Kota Langsa
Kota Lhokseumawe
Kota Sabang
Kota Subulussalam (UU belum disahkan)

[sunting] Gampông
Gampông atau disebut kampung dalam bahasa Melayu, merupakan sebuah sistem pemerintahan setingkat desa sekarang yang bediri secara otonom. Sebuah gampông dipimpin oleh kepala desa yang disebut Keuchik atau Geuchik dan dibantu oleh suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Peut.

[sunting] Mukim
Mukim merupakan suatu sistem pemerintahan setingkat kecamatan yang dahulu diberlakukan pada saat Kesultanan Aceh. Sebuah mukim terdiri dari beberapa buah desa yang disebut gampông. Di tiap-tiap mukim didirikan sebuah masjid yang dipergunakan untuk shalat Jumat. Mukim dipimpin oleh Imum Mukim dan dibantu oleh suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Lapan.

[sunting] Nanggroë
Nanggroë merupakan suatu sistem pemerintahan setingkat kabupaten pada masa sekarang. Dalam bahasa Melayu, nanggroë disebut juga kenegerian. Sebuah nanggroë terdiri dari mukim-mukim layaknya sekarang sebuah kabupaten terdiri dari kecamatan-kecamatan. Sebuah nanggroë dipimpin oleh hulubalang yang bergelar Teuku.

[sunting] Sagoë
Sagoë yang dalam bahasa Melayu disebut Sagi, merupakan suatu sistem pemerintahan yang setingkat dengan provinsi pada masa sekarang ini. Sebuah sagoë merupakan kumpulan dari nanggroë-nanggroë, layaknya provinsi yang terdiri dari kabupaten-kabupaten. Sistem pemerintahan ini pada masa yang lampau hanya terdapat di wilayah kabupaten Aceh Besar sekarang. Oleh karenanya Aceh Besar sering disebut pula dengan nama Acèh Lhèë Sagoë atau Aceh Tiga Sagi. Ada 3 sagoë di Aceh Besar (Acèh Rayek), yaitu Sagoë XXII, Sagoë XXV, dan Sagoë XXVI.

[sunting] Kaway

[sunting] Kondisi dan sumber daya alam

[sunting] Kondisi alam

[sunting] Keanekaragaman hayati

[sunting] Sumber daya alam
Minyak Bumi
Gas Alam
Emas
Hutan
Kayu
Kopi
Ikan
Rempah-rempah

[sunting] Perekonomian

[sunting] Tenaga Kerja

[sunting] Ekspor & Impor

[sunting] Pertanian & perkebunan

[sunting] Perikanan

[sunting] Pra-tsunami 2004
Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Nanggroe Aceh Darussalam, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan NAD 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan NAD 2004). Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka.
Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen (87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun demikian, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-lain.
Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektar tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.

[sunting] Pasca-tsunami 2004
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 milyar. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan tambak.
Kerusakan tambak budidaya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan), tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian mencapai Rp 466 milyar, sekitar 50 persen dari total kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan (tangkap dan budidaya). Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.
Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.
Lihat juga: Panglima Laôt

[sunting] Industri
Aceh memiliki sejumlah industri besar di antaranya
PT Arun
PT PIM
PT AAF
Lafarge Semen Andalas
ExxonMobil
CALTEX

[sunting] Pertambangan
Emas di Woyla, Seunagan, Aceh Barat; Pisang Mas di Beutong, Payakolak, Takengon Aceh Tengah Batubara di Kaway XI, di Semayan di Aceh Barat, Batugamping di Tanah Greuteu, Aceh Besar; di Tapaktuan

[sunting] Pariwisata
Masjid Raya Baiturrahman
Taman Putroe Phang
Pinto Khop
Kuburan Kerkhoff Peucut
Danau Laut Tawar
Danau Aneuk Laot
Iboih
Benteng Indrapatra

[sunting] Seni dan Budaya
Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:
Didong (seni pertunjukan dari masyarakat Gayo)
Meuseukee Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat)
Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)

[sunting] Sastra
Bustanussalatin
Hikayat Prang Sabi
Hikayat Malem Diwa

[sunting] Senjata tradisional
Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan Bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang).
Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti Sikin Panyang, Klewang dan Peudeung oon Teubee.

[sunting] Rumah Tradisional
Rumoh Aceh

[sunting] Tarian
Tari Seudati
Tari Saman
Rapai Geleng
Rateb Meuseukat
Likok Pulo
Ranup Lampuan
Tarek Pukat
Tari Guel, dari Gayo
Tari Bines, dari Gayo

[sunting] Sastra

[sunting] Makanan Khas
Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik, kari kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi NAD.

[sunting] Pahlawan
Perempuan :
Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Meutia
Laksamana Malahayati
Pocut Baren
Teungku Fakinah
Pria :
Sultan Iskandar Muda
Teungku Chik Di Tiro
Teuku Umar
Panglima Polem
Teuku Nyak Arif
Teungku Muhammad Daud Beureueh
Bangsa Aceh merupakan bangsa yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kegigihan perang bangsa Aceh, dapat dilihat dan dibuktikan oleh sejumlah Pahlawan (baik pria maupun wanita), serta bukti-bukti lainnya (sembilan jenderal Belanda tewas dalam perang Aceh, serta kuburan Kerkhoff yang pernah mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda).

[sunting] Tokoh asal Aceh
Lihat pula Suku Aceh untuk tokoh-tokoh yang bukan berasal dari provinsi Aceh namun berketurunan Aceh.
Sheikh Hamzah al-Fansuri
Sheikh Nuruddin ar-Raniry
Sheikh Abdurrauf atau lebih terkenal dengan nama Syiah Kuala
Tun Sri Lanang
Ismail al-Asyi
Mr Teuku Mohammad Hassan
Mohamad Kasim Arifin
Teungku Hasan Muhammad di Tiro
Yap Thiam Hien

[sunting] Lihat pula
Daftar provinsi Indonesia
Radio SEUDATI 96.9 FM Banda Aceh
SIRA

[sunting] Pranala luar
Googlenya untuk info aceh
(id) Googlenya untuk info aceh
Info Umum aceh
(id) Situs resmi Pemerintah Provinsi
(id) Harian Serambi Indonesia - Suratkabar Aceh
(id) Situs Berita Terkini AcehKita
(id) Media Center Aceh - Aliansi Jurnalis Independen Panduan dan
Informasi bagi pendidikan Aceh
(ms)(en) Situs resmi Universitas Syiah Kuala
(ms)(en) Situs resmi LPKM Universitas Syiah Kuala
(ms)(en) Situs resmi Pusat Studi Kelautan dan perikanan Universitas Syiah Kuala
(en)(ms) Situs resmi Pemerintah Mahasiswa Universitas Syiah Kuala
(en)(ms) Situs resmi Badan Eksekutif Mahasiswa IAIN Arraniry
Pusat Informasi bagi Jurnalis Peliput Aceh
(ms)(en) Situs resmi Gerakan Aceh Merdeka
(en)(ms) The Preparatory Committee of the Free Acheh Democratic
(id) Situs resmi Sentral Informasi Referendum Acheh (SIRA)
(id) UURI No.18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewah Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(id) Blog Pusat Informasi Dan Berita Acheh
(id) Pusat Informasi dan Inspirasi Rakyat Aceh (PIIRA) aCehpO
(id)(en) Pusat Informasi Dan Inovasi
(id)(en)(no) Situs Aceh Flyktning Foreningen Norway- masyarakat pengungsi Aceh di Norwegia
(id)(en) AcehKids.org/ Program Taman Bacaan Anak dan Komunitas di Aceh
(en) The Conflict, The People, economics and Politics
(id) Aceh Institute/ Lembaga Kajian Independen Aceh
Wikisource mempunyai koleksi naskah/teks yang berkaitan dengan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI & GAM

RI-GAM Dalam Berita

Kekerasan di Aceh

Etnografi Kekerasan di AcehPada dasarnya, wacana kekerasan yang terjadi di Aceh bukanlah barang baru bagi rakyatnya. Mereka telah akrab dengan kekerasan bagaikan sarapan pagi. Bagi mereka, kontak senjata adalah pemandangan sehari-hari.Anak-anak Aceh sanggup membedakan mana bunyi senjata TNI dan GAM. Dapat dikatakan bahwa dalam satu keluarga di Aceh, kekerasan merupakan “makanan” yang telah mereka konsumsi dari satu generasi ke generasi berikutnya.Dalam perjalanan sejarah Aceh, wacana kekerasan tidak pernah surut. Di setiap fase sejarah Aceh, kekerasan merupakan mata rantai yang tidak pernah terputus.Abad Ke-17Pertikaian tentang persoalan agama telah menyebabkan kekerasan yang dilakukan terhadap penganut aliran wujudiyyah yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Mereka dikejar-kejar aparat kerajaan pimpinan Sultan Iskandar Sani dan dipaksa melepaskan keyakinannya terhadap doktrin wujuddiyah, bahkan karya-karya mistik Hamzah Fansuri dikumpulkan dan dibakar di masjid Banda Aceh karena diangap sebagai sumber penyimpangan akidah umat Islam.1873–1908Ketika perang Aceh melawan penjajah Belanda, jumlah korban sekitar 60 sampai 70 ribu, ditambah dengan 25.000 buruh paksa dan yang meninggal karena sakit dan cacat. Total jumlah korban mencapai lebih dari 100.000 orang. Perang Aceh berkobar sejak Belanda melakukan invasi pertama dengan dukungan 3.000 prajurit, 26 Maret 1873. Setelah mengalami kegagalan, November tahun yang sama dilakukan invasi kedua dengan kekuatan 13.000 personil. Belanda sendiri baru dapat menguasai Kutaraja, pusat Kesultanan Aceh, Januari 1876, melalui pertempuran dahsyat. Ribuan jiwa tewas di kedua pihak dalam pertempuran ini. Makam Mayjen Kohler dan 2.200 serdadu Belanda di Kerkhof, Peucut, Banda Aceh, merupakan bukti pahitnya perang tersebut.1953–1959Pemuka agama dan masyarakat Aceh mencurigai Jakarta sengaja menempatkan komandan militer asal Pulau Jawa berhaluan kiri untuk meruntuhkan pengaruh ulama di pentas politik. Keadaan ini mencapai titik didih ketika 21 September 1953 Daud Beureueh tampil dengan dekrit pembentukan pemerintah sementara DI/TII. Operasi militer akibat kasus ini menewaskan 4.000 orang dan 4.666 orang lainnya ditangkap.1959Aceh mendapat status politik sebagai Daerah Istimewa yang dinyatakan otonom dalam bidang pendidikan, agama dan hukum adat pada periode pemerintahan Soekarno. Status istimewa tersebut tertuang dalam Keputusan Wakil Perdana Menteri No. 1/Missi/1959, 26 Mei 1959. Status istimewa adalah hasil kompromi politik antara RI yang diwakili oleh Hardi dengan rakyat Aceh (Dewan Revolusi yang merupakan faksi militer yang telah memisahkan diri dari gerakan DI/TII pimpinan Daud Beureueh).1965Pada awal pemerintahan Orde Baru, kekerasan dimulai dengan pembantaian terhadap rakyat yang diduga sebagai PKI. Variasi jumlah korban dari yang terendah 78.000 sampai 2.000.000 korban yang tewas, termasuk yang hilang.1976-1987Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dipimpin oleh Dr. Tengku Hasan Tiro, pada 4 Desember 1976 mengumumkan kemerdekaan dan kemudian membentuk pemerintahan di pengasingan. Dilakukan operasi militer/teritorial menghadapi Gerakan Aceh Merdeka.1989–1998Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) di bawah nama sandi Operasi Jaring Merah. Akibat pemberlakuan DOM dilaporkan 8344 orang tewas, 875 orang hilang, 1465 orang menjadi janda, 4670 menjadi anak yatim, 34 perempuan korban perkosaan, 298 orang cacat serta 809 buah rumah dirusak dan dibakar. Status DOM dicabut pada 7 Agustus 1998.1998-1999Ketika Presiden Habibie berkuasa, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan mencabut status Daerah Operasi Militer (DOM), penarikan pasukan non-organik (khususnya Kopassus), permohonan maaf kepada rakyat dan pembentukan tim pencari fakta independen terhadap kasus pelanggaran HAM berat di masa DOM. Namun militer Indonesia tetap melakukan operasi-operasi militer lokal, di antaranya operasi bersandi Wibawa dan Cinta Meunasah.2000Pertengahan April, wakil pemerintah RI duduk di kursi perundingan dengan wakil resmi Aceh Sumatera National Liberation Front (nama resmi Gerakan Aceh Merdeka pimpinan Hasan Tiro) di Bavois, Swiss. Hasil perundingan itu adalah penandatanganan perjanjian Jeda Kemanusiaan antara GAM dan RI di Jenewa, 12 Mei 2000. Kesepakatan itu efektif berjalan sekitar 3 bulan, dan gagal ketika memasuki tahap demiliterisasi.2002-2003Pemerintah Indonesia mengupayakan kembali perundingan yang kemudian melahirkan kesepakatan Cessation of Hostalities Agreement (CoHA) yang ditandatangani pada 9 Desember 2002 di Jenewa. Kesepakatan CoHA gagal ketika masuk ke tahap demiliterisasi. Tahap ini merupakan tahap krusial untuk masuk ke dalam operasi militer sepenuhnya sebagai solusi konflik di Aceh. Hasil investigasi KontraS mengungkapkan pada masa CoHA (Desember 2002 – 19 Mei 2003) terdapat 24 korban tewas, 4 orang korban kasus penghilangan, 10 orang luka-luka dan 1 orang ditangkap.Darurat Militer IBerlaku pada 19 Mei – 19 November 2003 berdasarkan Keppres No. 28/2003. Aceh Election Watch (AEW) melaporkan selama Darurat Militer I diberlakukan terjadi 227 kali kontak senjata antara TNI dan GAM. Monitoring AEW menunjukkan pula bahwa peristiwa kekerasan yang menimpa masyarakat sipil lebih banyak terjadi di luar operasi yang menghadapkan TNI dengan GAM. Dari segi pelaku kekerasan, TNI/Polri melakukan 217 kali tindak kekerasan, GAM 32 kali dan 88 kasus dilakukan oleh pihak yang tidak diketahui. Data resmi Pusat Penerangan TNI menyebutkan selama pemberlakukan Darurat Militer I, 396 sipil tewas, 55 luka berat dan 104 luka ringan – jumlah ini tidak termasuk anggota GAM. Hasil kompilasi data KontraS menyebutkan selama Darurat Militer I terdapat 46 kasus penghilangan, 126 pembunuhan, 111 penyiksaan, 25 penahanan dan 3 kasus perkosaan.Darurat Militer IIBerlaku pada 19 November 2003 – 19 Mei 2004 berdasarkan Keppres No. 97/2003. Pusat Penerangan TNI mencatat 183 sipil tewas, 68 luka berat dan 71 luka ringan, selama berlakunya Darurat Militer II.Darurat Sipil IBerlaku sejak 19 Mei – 19 November 2004 berdasarkan Keppres No. 43/2004. Aceh Working Group (AWG) mencatat adanya 67 kasus pembunuhan, 174 kasus penyiksaan, 15 kasus penangkapan dan 21 kasus penghilangan orang selama masa Mei–November 2004.Darurat Sipil IIBerlaku 6 bulan sejak 19 November 2004 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pernyataan Perpanjangan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Sipil di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Data olahan Imparsial menyebutkan, selama 2 bulan pertama Darurat Sipil I (19 November - 18 Desember 2004) telah terdapat 84 korban tindak kekerasan terhadap warga sipil, yakni 8 pembunuhan, 24 penyiksaan, 40 penangkapan dan 12 penghilangan. (RF, SN)

Tsunami Aceh

KAIRO--Gelombang dahsyat tsunami boleh saja memporakporandakan kota-kota pesisir Nangroe Aceh Darussalam (NAD), tapi tidak masjid Baiturrahman. Masjid yang telah berdiri sejak zaman keemasan Sultan Iskandar Muda, tetap kokoh meski gelombang pasang menghanyutkan ratusan ribu jiwa dan ribuan bangunan lainnya.
''Karena itu saya ingin memasyhurkan masjid-masjid Aceh di Eropa dan dunia. Masjid Aceh terbukti tangguh, tetap bertahan meski ditempa gempa dan tsunami,'' tutur pelukis Dipo Alam, ketika dihubungi di Galeri Yahia Tunis, Tunisia. Dipo Alam, yang juga mantan asisten Menko Perekonomian, menggelar pameran lukisan bertajuk Aceh dan Orientalisme: Le Tsunami vu par un peintre Indonesien di sejumlah negeri seperti Maroko, Tunisia, Ceko, dan Polandia.
Pameran seni ini menampilkan gambar-gambar masjid Aceh yang tetap kokoh kendati ditempa gempa berkekuatan 9,2 SR dan gelombang dahsyat yang menewaskan lebih dari 170 ribu jiwa. Sebanyak 49 lukisan tentang Aceh saat ini dipamerkan di Tunisia selama September ini.
Pameran yang dibuka oleh Duta Besar RI untuk Tunisia, Hertomo Reksodiputro, mendapat apresiasi luar biasa dari seniman setempat. Magnitude tsunami memang sangat besar, apalagi pameran itu di gelar di Galeri Yahia yang terletak di jantung kota Tunis. Galeri Yahia menyandang nama besar dan dikenal luas sebagai arena pameran seni rupa terkemuka Afrika Utara. Nama galeri tersebut diambil dari pelukis ternama Tunisia, Muhammad Yahia, yang masyhur pada era pra-kemerdekaan.
Dede Permadi, seorang mahasiswa Indonesia di Tunis, menyaksikan antusiasme warga kota Tunis untuk menikmasti pameran tersebut. ''Masyarakat Tunis antusias menikmati lukisan-lukisan itu, mereka kagum menyaksikan gambaran suasana masjid-masjid Aceh yang selamat dari tsunami,'' kata Dede. Tema masjid tsunami ini sangat menarik, sehingga banyak wartawan Tunis mengonfirmasi kepada kami dalam liputannya,'' ujar Dipo Alam
Masyhurkan masjidIde untuk melukis masjid terbetik ketika Dipo Alam mengunjungi Aceh pada 30 Desember 2004, empat hari setelah tragedi tsunami. Saat itu, Dipo menjabat sebagai Deputi Menko Perekonomian. ''Apa yang saya saksikan di sana, mengetuk nurani saya untuk berbuat sesuatu bagi kemanusiaan,'' paparnya.
Diakui Dipo bahwa cita-cita untuk memasyhurkan masjid Aceh terinpirasi oleh sosok Hokosai, seorang pelukis ternama Jepang abad ke-18 yang telah berhasil mempopulerkan gunung Fujiyama lewat 46 lukisannya. ''Kehebatan masjid Aceh harus dipopulerkan oleh kita, anak negeri sendiri,'' kata Dipo, yang juga pemilik Yayasan Bantu Pendidikan Anak-Anak Guru Korban di NAD ini.
Di antara ke-49 karya Dipo itu, ada lukisan seorang wanita Arab Maghribi yang duduk termenung, dengan latar belakang masjid Baiturahman. ''Lukisan wanita Timur sangat terkenal karena banyak jadi inspirasi bagi para pelukis Eropa abad pertengahan. Saya ingin mengembangkan popularitas masjid Raya Baiturahman dengan cara memanfaatkan popularitas lukisan wanita Arab Magribi ini,'' papar Dipo.
Lukisan lain berjudul Run Baby Run 1, menampilkan seorang bayi berlari menuju tiang masjid, untuk menjauhi gulungan ombak tsunami. Dipo juga melukis Presiden SBY di depan masjid Baiturahman, dikelilingi ribuan anak-anak keluarga korban tsunami.
Lukisan-lukisan Dipo ini pernah pula diikutkan dalam pameran di kota Ceska Lippa Republik Ceko dan di kota Rabat Maroko, pada Juni 2006 lalu. Pada November 2006, Dipo Alam berencana menggelar pameran serupa di Praha, Cheko, dan kemudian di Warsawa, Polandia. Dipo berharap lewat lukisan ia bisa membangkitkan kepedulian, bahwa tsunami adalah tragedi kemanusiaan yang pantas dikenang sepanjang masa. ''Saya ingin ada museum tsunami yang berlokasi di Aceh. Bukan di Jakarta atau di luar negeri,'' kata doktor lulusan George Washington University ini. ( )

Argument Tentang Aceh

Sepasang pengantin Aceh, sekitar tahun 1880
Ingin Melihat Artikel Foto Tempo Dulu Yang Lengkap Klik Disini

Foto Aceh Tempo Dulu

"Atjeh Tram" di atas jembatan "Demmeni" di Kutaraja (Banda Aceh), sekitar tahun 1895
Gamelan dalam benteng di Meulaboh, sekitar tahun 1894
Rumah Gubernur di Kutaraja (Banda Aceh), tahun 1878